Kenakalan tsb di sebut bully. Bully secara umum di definisikan
sebagai perbuatan tak menyenangkan baik menggunakan kekerasan secara
fisik maupun kekerasan verbal pada anak di sekolah atau lingkungan
tempat tinggalnya contoh mengatai, memaki, memukul, mengancam, merusak
barang kepunyaan anak dan melukai anak. Bully tidak saja dilakukan pada
sesama siswa. Guru juga bisa menjadi pembully jika melakukan kekerasan
pada anak dididiknya. Aktivitas Bully yang dilakukan murid biasanya
dilakukan tanpa sepengetahuan guru dan jika diketahui oleh guru pun,
sebagian besar berpendapat hanya polah kenakalan anak2 biasa (lihat film
dokumenter Thalia tentang bully).
Anak2 korban bully
umumnya memilih mendiamkan bully yang dialaminya karena guru yang
berpendapat bully hanya kenakalan biasa tidak terlalu memperhatikan
laporan anak dan jika anak melapor pada orang tua akan ditegur guru
karena dianggap membesar2kan masalah dan anak di cap tukang ngadu atau
cengeng oleh teman2nya sehingga memperberat kondisi yang dihadapi anak
di sekolah. Namun korban yang memilih diam dan patuh biasanya justru
makin ditekan pembully dan jika melawan maka pembully tidak segan
berlaku lebih keras pada korban.
Banyak orang berpikir
bully hanya kenakalan anak2 biasa dan masalah selesai jika pelaku minta
maaf dan korban bersedia berdamai. Namun problem psikis yang ditimbulkan
bully ternyata tak seringan itu. Minggu lalu saya menonton film Girl
Fight di saluran TV kabel Diva Universal. Girl Fight terinspirasi dari
kisah nyata dampak psikologis bullying pada seorang siswa SMU di
Amerika. Ketika kasus tsb terungkap dan pelaku tertangkap serta mereka
berdua sepakat damai, masalah yang dihadapi korban tidaklah selesai
Di
film Girl Fight diceritakan korban bully adalah anak yang ceria dan
terpandai di sekoahnya dan calon penerima beasiswa universitas ternama.
Kekerasan yang diterimanya tsb bukannya membuat dia marah pada orang
yang mem bully nya justru membuatnya menyalahkan dirinya sendiri. Ia
menganggap dirinya bodoh mau berteman dengan pembully dan menyalahkan
tak bisa memakai otaknya yg pintar agar dapat memilih teman yang baik.
Ia juga merasa layak menerima perlakuan bully tsb karena tak mau patuh
dan menurut pada pembully nya. Padahal akibat bully tsb sebelah matanya
buta dan gegar otak. Dampak lanjut.. ia merasa tak berarti, tak percaya
diri lagi, malu bertemu orang, malu bergaul dan milih ngumpet di rumah
karena takut ancaman balasan dari pembully nya. Pada kasus ekstrim
seperti di Amerika, Jepang dan Australia, sejumlah korban memilih bunuh
diri karena frustrasi tak menemukan jalan keluar. Rentang anak yang
memilih bunuh diri karena bully berusia 7 – 16 tahun. Tuh..dampak bully
ternyata tidak ringan bukan?
Siapa yang menjadi korban
bully? Well, rekan2 pasti bilang anak2 dengan kekurangan atau kelainan
fisik mis. cacat, gagap, penampilan yang aneh, anak2 yang pemalu dan
anak2 yang kurang mampu. Tidak salah. Tapi menurut Bunda Elly Risman,
konselor parenting Yayasan Kita dan Buah Hati, anak2 cerdas dan anak2 yg
punya bakat luar biasa juga kerap jadi sasaran bully di sekolah. Lho
kok? Ya..secara teori, bully terjadi pada anak2 yang dianggap berbeda
atau menonjol di lingkungannya. Bunda Elly bercerita pernah menangani
korban bully seorang juara olimpiade sains tingkat internasional yang
dilakukan teman2nya di sekolahnya. Anak ini berulang kali masuk RS
karena perbuatan bully teman2nya tapi bertahan hingga lulus dan sekarang
sudah sekolah di luar negeri. Korban bully lainnya adalah seorang
penari berbakat yang sering mengisi pentas di mancanegara. Dengan
penjelasan Bunda tsb, saya paham mengapa kedua putri saya jg menjadi
sasaran bully, si sulung yang menekuni film dan si tengah yang juara
satu di sekolahnya sehingga lahirlah film Thalia tentang pengalaman
dirinya dan adiknya di bully yang alhamdulilah terpilih sebagai finalis
film terbaik Kidffest 2011.
Yang membuat saya miris
menurut survei alasan orang tua memilih pendidikan homeschooling bagi
anaknya yaitu pertama, untuk pengembangan bakat dan kedua, menghindari
anak dari bullying. Dengan semakin tingginya trend homescholing akhir2
ini, rekan2 dapat menduga bahwa insiden bullying juga makin
tinggi. Wuih, ngeri.
Terus gimana dong mendeteksi anak sebagai
korban bullying? Ingat lho, umumnya bullying terjadi di belakang guru
sehingga jika temans mengecek ke guru biasanya guru mengatakan tak tahu
atau jika pun tahu guru menganggap kenakalan biasa. So..ini tips nya.
Semoga membantu.
- Perilaku anak dari hari ke hari berubah makin murung dan diam. Kadang anak menyendiri sendiri di kamar, tiba2 menangis sendiri tanpa sebab jelas tapi jika ditanya mengelak dan mengatakan tidak apa2.
- Anak menjadi lebih sensitif seperti mudah marah, tersinggung dan cengeng jika ditanya atau ditegur orang tua.
- Prestasi semakin menurun dan anak sulit berkonsentrasi belajar. Guru juga melaporkan anak kerap tidak menyerahkan tugas atau PR nya.
- Jika berangkat sekolah tidak bersemangat, terlambat bangun, kadang ketakutan dan enggan berangkat dengan beragam alasan. Jika dipaksa berangkat sekolah, mendadak sakit perut, mengeluh pusing atau demam. Sakit perut, pusing dan demam adalah reaksi akibat ketakutan yang sangat.
- Cek barang anak. Biasanya anak kehilangan barang atau sejumlah barangnya rusak. Misalnya buku yang hilang, robek, sampul yang copot atau dicoret-coret, pinsil patah, rautan pecah, baju yang koyak, dsb. Tapi jika ditanya anak selalu mengelak dan mengatakan itu perbuatannya.
- Cek tubuhnya seperti keberadaan memar, luka dan benjol. Seperti biasa jika ditanya anak selalu mengelak dan mengatakan jatuh, keserempet, dsb.
- Pembully biasanya juga minta sejumlah uang atau makanan yang dibawa anak. Cek apakah anak jajan hari itu dan apakah uang mis.SPP yang dititipkan pd anak telah dibayarkan. Kadang pembully juga mendesak korban membawakan uang lebih banyak. Jadi jika anak sering minta uang lebih dari biasanya misalnya buat beli buku, iuran ini itu, dsb, ceklah dengan pihak sekolah.
- Anak pulang sekolah lebih lama dari biasanya tanpa alasan yang jelas. Biasanya anak ditahan pembully untuk mengerjakan sesuatu mis.mengerjakan PR nya.
Jika bully terjadi dalam tahap kritis, muncul beberapa gejala tsb di atas, tidak cukup satu. Jadi waspadalah.
Bagaimana
bila ternyata anak benar2 jadi korban bully apa solusinya? Jika guru
menganggap itu hanya kenakalan biasa dan teman2 kelasnya tidak ada yang
berani membela anak saat di bully, segera pindahkan anak dan cari
sekolah yang dapat melindungi anak !
Mengapa? Bully ibarat
mata rantai sebuah siklus. Anak berani membully karena lingkungan
menganggap perilaku anak tsb normal dan anak2 lain dalam kelas dapat
menjadi penentu berat ringannya bully. Jika anak2 sebagai saksi mata
kekerasan tsb acuh tak acuh dan tak berani bertindak minta pembully
menghentikan tindakannya serta memberi pertolongan pada korban bully,
maka korban akan semakin terjepit dan menjadi bulan2an pembully.
Jika
guru menghargai laporan orang tua dan bersedia bekerjasama, serta anak
punya sejumlah teman baik yang mendukungnya, ajarkan anak agar
menceritakan pengalaman yang tak menyenangkan yang dialaminya di sekolah
hari itu lalu ajak anak berdiskusi bagaimana solusi mengatasinya.
Kadang anak hanya merasa ia perlu didengar keluhan dan perasaannya
kemudian dapat memutuskan sendiri solusinya. Dengan membiasakan
berdiskusi dan menganalisa, anak akan lebih tegar dan meski mungkin
bullying yang diterimanya tak bisa hilang sama sekali namun
meminimalisir nya. Karena anak yang berubah jadi lebih kuat dan tegas,
membuat pembully berpikir 2x untuk menekan korbannya.
Di
tingkat SMP dan SMU bully juga bisa terjadi karena tradisi senioritas
yang diwariskan dimana adik kelas harus menurut pada kakak kelas. Jika
tidak menurut maka akan ditekan sedemikian rupa. Oleh karena itu sangat
penting mengkampanyekan bahaya bully dan mengajarkan anak2 untuk
bekerjasama, saling tolong menolong, menyayangi sesama serta melindungi
yang lebih muda.
Nunki Suwardi
Pusat Pengembangan Studi Psikologi Komunikasi Bawah Sadar
Klinik Deteksi Dini & Stimulasi Tumbuh Kembang Ana
0 komentar:
Posting Komentar